Saturday, December 26, 2009

Wanita yang Pertama Masuk Surga

« “Pancinglah Rejeki dengan Memberi” (Ali Bin Abi Thalib)
WANITA SALEHAH, SEBAGAI TIANG KEMAJUAN NEGARA
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. 30 Ar-Rum : 21).

Suatu hari Fatimah binti Muhammad saw, salah seorang wanita salehah yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah, bertanya kepada ayahnya, Nabi Muhammad saw. Katanya: “Siapakah perempuan yang masuk surga pertama kali ayah?” Rasul menjawab: “Seorang wanita yang bernama Mutiah.” Mendengar jawaban yang demikian Fatimah sangat terkejut karena menurut perkiraannya, seharusnya dialah perempuan yang masuk surga pertama kali, karena bukankah dirinya merupakan putri Nabi saw. Karena itu timbulah niatnya untuk mengetahui siapa Mutiah itu dan apa gerangan yang dilakukannya sehingga mendapat penghormatan yang begitu tinggi.

Setelah meminta ijin kepada ‘Ali bin Abi Thalib, suaminya Fatimah berangkat mencari rumah Mutiah. Puteranya Hasan yang masih kecil menangis, meminta untuk ikut serta. Maka berangkatlah Fatimah ke rumah Mutiah dengan menggandeng Hasan. Sampai di rumah Mutiah, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan: ”Assalamu’alaikum.” ’Alaikum salam.
Siapa di luar ?” Terdengar suara jawaban yang lembut dari
dalam, suara yang cerah dan merdu. “Saya Fatimah, puteri

Rasulullah.” Jawab Fatimah. “Alhamdulillah, alangkah bahagianya saya hari ini Fatimah sudi berkunjung ke gubug saya.” Terdengar jawaban dari dalam tetapi dengan suara yang lebih jelas karena jarak yang semakin dekat, dan nyata lebih gembira. “Fatimah sendirian ?” tanya Mutiah lagi. “Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah. “Aduh maaf ya,” terdengar suara menyesal, “ Saya belum mendapat ijin suami untuk menemui tetamu lelaki.” Kata Mutiah. Fatimah (agak kecewa): “Tetapi Hasan masih kecil.” Mutiah (lebih kecewa): “Meskipun kecil, Hasan laki-laki, besok saja datang lagi saya akan minta ijin kepada suami saya dahulu.” Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Fatimah minta diri (permisi).

Keesokan harinya Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah kali dengan Hasan dan Husein. Bertiga mereka mendatangi rumah Mutiah. Setelah memberi salam yang dijawab dengan gembira oleh Mutiah. Mutiah berkata: ”Datang dengan Hasan, Fatimah ? suami saya sudah memberi ijin.” Fatimah menjawab: “Ya, dengan Hasan dan Husein.” Mutiah: “Aduh, mengapa tidak bilang dari kemaren, yang dapat ijin cuma Hasan, Husain belum mendapat ijin. Maaf ya, terpaksa saya tidak dapat menerima lagi.” Kembali hari itu Fatimah gagal bertemu Mutiah. Keesokan harinya Fatimah datang dengan Hasan dan Husein yang disambut baik-baik oleh Mutiah. Ternyata keadaan rumah Mutiah sangat sederhana. Tidak ada satupun perabotan yang mewah. Namun semuanya teratur rapih dan bersih. Termasuk tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar pun tampak bersih sekali. Alasnya putih, seperti baru dicuci. Bau harum didalam rumah itu sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah. Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tidak betah di rumah orang asyik bermain di rumah Mutiah. “Maaf, saya belum bisa menemani karena saya harus menyiapkan makanan terlebih dahulu buat suami saya di dapur.” Kata Mutiah. Menjelang tengah hari makanan sudah siap dihidangkan. Kemudian di letakkannya makanan itu di atas nampan. Setelah itu Mutiah mengambil cambuk, yang juga di letakkan di atas nampan yang lain. Melihat adanya cambuk Fatimah bertanya: “Suamimu bekerja dimana?.” “Di ladang.” Jawab Mutiah. Fatimah: “Penggembala?.” Mutiah: “Bukan, becocok tanam.” Fatimah: “Tetapi mengapa kau siapkan cambuk itu?.” “Oh itu (sambil tersenyum), cambuk itu saya siapkan untuk keperluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan masakan saya cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok maka tidak terjadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, maka cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar dicambukkan punggung saya, karena saya tidak dapat menyenangkan hati suami.” Kata Mutiah. Fatimah bertanya lagi menyelidik: “Atas kehendak suamikah kauletakkan cambuk itu?.” Mutiah: “Oh tidak, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang pengasih. Ini semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang durhaka kepada suami”.Mendengar penjelasan yang demikian Fatimah lantas permisi pulang. Sekarang tahulah dia mengapa Mutiah menjadi perempuan pertama yang masuk surga: karena baktinya kepada suami yang begitu besar. (Ar Roisi, 30 Kisah Teladan, Jilid 1, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1990).

1 comment:

Anonymous said...

luar biasa